Daur hidup sebuah perusahaan tidaklah identik dengan siklus kehidupan makhluk hidup. Jika makhluk hidup–juga manusia–mengawali siklus dari lahir, tumbuh berkembang, dewasa, tua, dan mati, tidak demikian dengan siklus perusahaan.
Dalam siklus perusahaan dikenal apa yang disebut dengan istilah going concern, hidup seterusnya. Karena itu, perusahaan senantiasa mencari jalan untuk bisa berkembang, dan eksis sebagai sebuah entitas bisnis, bahkan kalau bisa ekspansi dan menggurita. Pada awalnya, kebanyakan sebuah perusahaan lahir atau didirikan dengan modal yang terbatas oleh satu atau beberapa orang tertentu melalui modal patungan. Organisasinya juga tidak terlalu besar.
Namun dengan daya tahan, keuletan, dan kemauan keras pemegang saham atau pendiri, tidak sedikit perusahaan yang awalnya berjalan tertatih-tatih kini menjadi perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan multinasional sekaliber Microsoft, McDonald, General Electric, Toyota, Mitsubishi, Coca Cola, dan banyak lagi, lahir tidak langsung menyandang nama besar dengan omzet dan jaringan yang mendunia.
Mereka mencapai level seperti saat ini melalui proses perjalanan yang panjang. Begitu pun dengan perusahaan besar di dalam negeri seperti Astra International, Bank BCA, Indofood Sukses Makmur, Bank BRI, Bank Mandiri, Telkom, HM Sampoerna, Gudang Garam, Djarum, mereka tidak langsung besar. Mereka melaluinya lewat tahapan waktu yang panjang, perjuangan yang berat, dan pendanaan yang cukup besar.
Dalam perjalanan waktu, bukan tidak mungkin akan lahir kelompok-kelompok usaha baru yang mapan dan lebih kuat. Persoalannya bagi setiap perusahaan bagaimana bisa mengalami proses ke sana: lahir, ekspansi (tidak sekedar bertahan hidup), dan tumbuh dengan organisasi besar dan merambah ke sektor usaha dari hulu hingga hilir. Ini tentu tidak gampang.
Banyak faktor yang menentukan bagi sebuah perusahaan untuk bisa berkembang pesat, mulai kemampuan SDM, jaringan pasar, teknologi, dan tentu saja modal. Ketersediaan modal atau kapital sering kali menjadi kendala utama bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi. Adanya SDM yang andal, manajemen yang piawai, pasar yang memadai, serta kemampuan teknologi sering kali menjadi tidak berarti tanpa adanya ketersediaan modal untuk ekspansi.
Dalam dunia keuangan, kebutuhan modal untuk ekspansi pada dasarnya bisa dipenuhi melalui dua jalan. Pertama, tambahan modal dari pemegang saham dalam bentuk setoran modal sebagai ekuitas. Kedua, utang. Utang ini bisa diperoleh dari pemegang saham, pihak ketiga, atau lembaga keuangan komersial seperti bank. Bisa juga perusahaan menerbitkan surat utang seperti obligasi atau medium term notes (MTN).
Setiap perusahaan tentu memiliki pertimbangan sendiri-sendiri, jalan mana yang akan ditempuh untuk memenuhi kebutuhan modal ekspansinya. Yang pasti, dua-duanya memiliki keunggulan dan keterbatasan sendiri-sendiri. Dari sisi ekuitas misalnya, pemegang saham tentu memiliki keterbatasan dana untuk terus menambah setoran dana segar.
Dari sisi ini, tentu pemegang saham tidak bisa diandalkan terus menerus untuk memperbesar nilai ekuitasnya untuk membiayai kebutuhan ekspansi. Dari sisi utang, kepada siapa pun utang diajukan, tentu dibutuhkan sejumlah persyaratan yang tidak sederhana, misalnya adanya jaminan yang memadai serta tingkat suku bunga yang cukup mahal. Karena itu, pendiri sebagai pemegang saham utama harus berani mengambil inisiatif: mengundang masuknya investor baru atau sekalian saja melakukan penawaran umum saham kepada masyarakat atau go public.
Dengan go public, berarti ada peningkatan modal (ekuitas) di perusahaan. Perusahaan tidak perlu repot-repot mencari utang lagi. Malah, modal dari penjualan saham baru tadi bisa dipakai untuk melunasi atau membayar sebagian utang perusahaan sehingga beban perusahaan lebih ringan. Perlu dipahami juga bahwa go public bukan sekadar mencari dana untuk tambahan modal ekspansi.
Lebih dari itu, go public memiliki banyak manfaat bagi perusahaan yang bersangkutan. Beberapa manfaat itu di antaranya: Perusahaan lebih profesional. Ini merupakan efek dari go public. Setiap perusahaan dituntut untuk memaksimalkan keuntungan pemegang saham. Karena pemegang saham dari perusahaan publik adalah masyarakat, manajemen dituntut untuk lebih profesional agar bisa mendapatkan pertumbuhan laba yang stabil dari tahun ke tahun, sehingga dividen bisa diberikan kepada pemegang sahamnya.
Keterbukaan informasi atau transparansi. Perusahaan publik dituntut selalu bersikap transparan. Semua informasi yang bersifat material yang menyangkut operasional perusahaan harus disampaikan kepada publik. Lebih akuntabel. Karena kewajiban bersikap transparan tadi, manajemen perusahaan publik lebih bisa dipertanggungjawabkan (akuntabel). Laporan keuangan tahunan dan tengah tahunan harus diaudit oleh akuntan publik.
Bahkan, laporan keuangan triwulan (nonaudit) juga harus diserahkan kepada regulator pasar modal. Memiliki akses yang lebih kuat untuk pendanaan. Lembaga pembiayaan baik bank atau nonbank lebih suka membiayai perusahaan publik dibandingkan perusahaan tertutup. Lebih dikenal masyarakat. Karena sahamnya diperdagangkan di bursa, setiap hari nama perusahaan (beserta harga sahamnya) akan dimuat di sejumlah media massa cetak maupun elektronik.
Ini merupakan promosi gratis dalam proses pembentukan citra (image building) perusahaan. Nilai perusahaan tercermin di pasar. Harga saham di pasar akan langsung mencerminkan nilai perusahaan tersebut berupa nilai kapitalisasi pasar. Akses pasar lebih terbuka. Karena perusahaan lebih dikenal di masyarakat, otomatis lebih dikenal oleh dunia bisnis sehingga akses pasar pun lebih terbuka.
andri@ciputraentrepreneurship.com (Andri Setyawan) 09 Feb, 2013
-
Source: http://www.ciputraentrepreneurship.com/tips-bisnis/174-rencana-bisnis/11057-go-public-agar-jadi-besar.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
No comments:
Post a Comment