ADA sebuah artikel yang kebetulan baru saya baca http://www.lensaindonesia.com/2012/09/30/phyton-besar-rawan-bagi-perempuan.html
Sebagai penghobi reptil sejak tahun 1981 dan praktisi kesehatan, ada beberapa hal yang menggelitik saya untuk menanggapinya.
Baca juga: Golkar daftarkan 560 Bacaleg, lolos hanya 358 orang dan Pertama kali, Bangladesh pilih wanita jadi jubir parlemen
Ada beberapa hal dalam artikel ini yang menggelitik saya untuk mencoba menanggapi dan meluruskannya. Sebagai berikut:
Kelompok studi Albolabris, menilai ribuan jenis baru photon (python) yang banyak dipelihara masyarakat merupakan hasil dari rekayasa genetik. Menurut mereka, praktek rekayasa genetika sangat rentan bagi jenis phyton itu sendiri. Bahkan dapat melemahkan ekosistem dari jenis utama ular phyton di Indonesia.
Maksudnya apa ?ular ular tersebut merupakan hasil budidaya /ternakan, tidak ada hubungannya dengan ekosistem ular di Indonesia.
"Sebagian besar ular yang sering kami temui di alam tidak sama dengan ular yang saya temui di masyarakat umumnya atau pecinta reptil lain. Bagi kami kondisi ini sangat rentan dan merugikan ular-ular itu sendiri khususnya phyton yang murni berasal dari Indonesia. Selain itu, ular hasil rekayasa genetik tidak mampu bertahan di alam liar dan jika dilepas pasti mereka akan cepat mati," ungkap Humas Kelompok Stiudi Albolabris, Wawan, Sabtu (27/9/2012).
Mungkin, nara sumber kurang luas hubungannya dengan peghobi reptil lain, penghobi reptil di Indonesia sudah menjapai jutaan dan masih banyak yang lebih senang memelihara reptil asli Indonesia.
Tentu saja ular yang dikatakan sebagai hasil rekayasa genetika tidak mampu bertahan di alam, mereka adalah hasil ternakan. Kalaupun mau dilepas di alam harus melalui proses adaptasi seperti yang dilakukan pada penangkaran hewan yang banyak terdapat di Indonesia, melepas hewan tangkaran ke alam memerlukan adaptasi.
Itu dari sisi proses, dari sisi harga, apa adapenghobi reptil yang mau melepas begitu saja reptile yang dikatakan sebagai hasil rekayasa genetika seharga jutaan sampai puluhan juta rupiah ke alam?
Ia mengakui, saat ini ekosistem ular phyton mulai terjadi krisis jenis asli dari ular phyton khususnya asal Indonesia akibat perkawinan silang.
"Ular kami memang tidak terlalu cantik meskipun dari motivnya kurang bagus dan tidak memiliki daya tarik atau nilai jual, tapi ular kami alami dan murni. Genetikanya sangat alami. Kebanyakan jenis Phyton retik dan molurus dari Indonesia yang banyak diambil barat untuk dilakukan eksperimen," sambungnya.
Yang dimaksud krisis jenis asli ini apa? Kalau dari jenis jelas tidak akan berubah kecuali ditemukan jenis baru, dan sampai sekarang juga tidak berkurang.
Mengenai perkawinan silang (cross breed), perkawinan beda jenis/species memang banyak yang mencoba melakukan tetapi tidak selalu berhasil, yang lebih banyak dilakukan adalah perkawinan selektif (selective breed), perkawinan dengan jemis/species yang sama.
Hasil yang didapat dari cross breed disebut hybrid, sedangkan hasil dari selective breed disebut morph bila penampakannya berbeda dari penampakan normal yang ada di alam.
Aktivis reptile, Budi Wonosasamito, menjelaskan, ide untuk melakukan perkawinan silang sebenarnya berawal dari kelainan genetik dari tiap ular di Indonesia untuk dilakukan eksperimen oleh barat. Dicontohkan, saat ini ular jenis Phyton(python) bold(ball) sudah menghasilkan ribuan morph baru hasil perkawinan silang.
Ia pun mengakui, perkawinan silang tersebut tidak disarankan bagi para pecinta reptil maupun peternak ular untuk memperoleh keuntungan tertentu. Sebab, beberapa dampak dari hasil rekayasa genetika tersebut adalah menurunnya daya tahan tubuh pada ular sehingga membuat tidak mampu bertahan hidup.
Dari keterangan ini, jelaslah bahwa kelainan genetik awalnya dari alam dan kemudian dikawinkan dengan ular normal atau yang mempunyai kelainan genetik lain untuk melahirkan ular dengan penampakan yang berbeda yang disebut morph Ball Python yang nama latinnya python regius adalah ular asli afrika.
Ular jenis itu banyak dikembang biakan dan menjadi komoditas ekspor di banyak negara afrika.
Ketua ProFauna Indonesia, Rossek Nursahid, menyatakan, dalam kondisi dan situasi apapun, praktek perkawinan silang pada seluruh jenis hewan di Indonesia merupakan perbuatan yang dilarang. Ini diperkuat dengan regulasi PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
"Diperkuat dengan PP Nomor 8 tahun 1999 tentangan larangan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa. Itu sudah jelas melanggar karena aturan itu bukan hanya untuk hewan yang dilindungi saja," tandasnya.
Mungkin yang dimaksud dari PP No 7 ini adalah pada pasal 16;
1. Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnyasebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b dilaksanakanuntuk pengembangan populasi di alam agar tidak punah.
2. Kegiatan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan tetap menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik.
Di situ jelas yang dimaksud adalah penangkaran yang nanti hasilnya akan dilepas kembali ke alam atau tetap dipelihara dalam penangkaran karena habitat aslinya sudah tidak mendukung. Sedangkan PP no 8 dalam pasal 12 dan 13 sebagai berikut;
Pasal 12
Penangkar wajib menjaga kemurnian jenis satwa liar yang dilindungi sampaipada generasi pertama.
Pasal 13
(1) Hasil penangkaran untuk persilangan hanya dapat dilakukan setelahgenerasi kedua bagi satwa liar yang dilindungi, dan setelah generasipertama bagi satwa liar yang tidak dilindungi, serta setelah mengalamiperbanyakan bagi tumbuhan yang dilindungi.
(2) Hasil persilangan satwa liar dilarang untuk dilepas ke alam.
Dari PP ini sudah jelas bahwa penangkar hanya wajib menjaga kemurnian genetika sampai setelahgenerasi kedua bagi satwa liar yang dilindungi, dan setelah generasipertama bagi satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak melepas hewan hasil persilangan ke alam. Kembali saya katakan, siapa yang mau melepas reptil seharga belasan juta ke alam?
Ia menegaskan, bagi seluruh pecinta maupun aktivis reptil agar wajib menjaga ekosistem dari sektor pemurnian gen. Sebab, perkawinan silang atau rekayasa genetik ini bukan hanya merusak keseimbangan ekosistem.
Melainkan, dampak yang signifikan menimbulkan penyakit yang berbahaya bagi kesehatan manusia yang memelihara reptil, yakni infeksi Salmonella. Mungkin kebanyakan orang berpikir bahwa infeksi Salmonella biasanya datang dari makanan yang terkontaminasi, namun kuman ini juga bisa datang melalui orang yang berinteraksi langsung dengan hewan, termasuk reptil dan amfibi.
Demikian halnya, kontak dengan lingkungan reptil atau amfibi, seperti air akuarium ataupun tumbuhan di dalam terrarium.
Bakteri salmonella terdapat pada hampir semua jenis binantang baik berdarah panas maupun berdarah dingin. Sumber penyebaran bakteri salmonella yang terbanyak adalah dari ternak dan produknya seperti sapi, kambing, ayam, susu, telur.
Bakteri ini masuk ke tubuh manusia melalui saluran pencernaan, yaitu melalui mulut lewat makanan yang terkontaminasi, makan dengan tangan yang terpapar, peralatan makan yang terkontaminasi atau langsung kalau mencium hewan.
"Khususnya kepada perempuan yang belakangan ini hobi memelihara reptil hasil perkawinan silang itu sendiri.Dampaknya bagi perempuan, penyakit ini akan menimbulkan efek terparah seperti mandul hingga keguguran.
Salmonella tidak ada hubungannya dengan perkawinan silang, baik normal atau hasil perkawinan silang tetap saja bisa mengandung bakteri salmonella
Dan, akhirnya tentang dampak bagi perempuan ini yang paling tidak benar, sumbernya darimana ? Dasarnya literatur apa ? Bakteri salmonella menyebabkan diare, seringkali bisa sembuh sendiri tanpa pengobatan, belum pernah ada laporan medis dalam jurnal-jurnal kedokteran yang menyatakan salmonella dapat menyebabkan keguguran apalagi mandul.
Yang sudah terbukti dapat menyebabkan keguguran ataupun bayi cacat adalah TOXOPLASMA, yang disebabkan parasit yang hanya menjangkiti hewan berdarah panas seperti kucing, tikus dan lain-lain. Sedangkan ular adalah hewan berdarah dingin.
Penularan salmonella dapat dicegah dengan cara yang mudah, yaitu mencuci tangan setelah memegang reptil. Ini hal yang sudah diketahui oleh penghobi reptil.
Perkawinan silang ini juga belum ada fungsi ekologinya kok mas jadi buat apa eksperimen seperti itu," pungkasnya.
Memang ini bukan tentang fungsi ekologi. Budidaya reptil sekarang sudah mengarah ke industri untuk memenuhi kebutuhan penghobi reptil di seluruh dunia.
Morph hasil dari selective breed sangat disukai oleh penghobi reptil termasuk di Indonesia bahkan banyak orang Indonesia yang rela mengeluarkan uang puluhan juta untuk membeli reptil morph dari luar negeri. @
* Surartono: Dosen, Praktisi Kesehatan, dan Penghobi Reptil sejak tahun 1981
Joko Irianto @lensaindonesia 26 May, 2013
enclosure:
-
Source: http://www.lensaindonesia.com/2013/05/26/tanggapan-terhadap-artikel-python-rawan-bagi-perempuan.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com