Thursday, April 11, 2013

Pemerintah-DPR tak boleh paksakan rekodifikasi menyeluruh KUHP

LENSAINDONESIA.COM: Pemerintah dan DPR tidak boleh memaksakan re-kodifikasi secara menyeluruh terhadap kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang berlaku saat ini. Pasalnya, jika ini dipaksakan, berpotensi akan memunculkan kekacauan hukum.

Demikian kesimpulan press briefing Aliansi Nasional Reformasi KUHP untuk menyikapi materi dan proses pembahasan RKUHP di DPR, di Jakarta, hari ini (Kamis, 11/4/2013).

Baca juga: Rakyat 72 persen kecewa kinerja penegakan hukum pemerintahan SBY dan Butuh kepastian hukum, MA-KKP tingkatkan kompetensi hakim ad hoc

Hadir dari Aliansi antara lain Zainal Abidin dan Wahyudi Djafar (ELSAM), Arsil (LeIP), Rumadi (Wahid Institute), Al Araf (Imparsial), Eko Maryadi (AJI Indonesia), Alex Argo (KontraS), Asep Komarudin (LBH Pers), Widodo Budidarmo (Arus Pelangi), Ali Akbar (HRWG), Purnomo (KRHN), Inggrid Silitonga (Demos), Miko Ginting (PSHK), dan Nurkholis Hidayat (individu).

“Agar tidak terjadi kekacauan hukum, Pemerintah dan DPR bisa melakukan perubahan bertahap,” kata aktivis ELSAM, Zainal Abidin.

Beberapa langkah bertahap antara lain, pertama, mengevaluasi secara menyeluruh delik-delik dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya yang sudah tidak tepat dalam situasi masyarakat saat ini, atau tidak sesuai lagi untuk dinyatakan sebagai kejahatan, sehingga perlu dilakukan dekriminalisasi.

“Kedua, melakukan kajian yang komprehensif untuk memasukkan perbuatan yang memang mengharuskan untuk dikategorikan sebagai kejahatan, khususnya yang terkait dengan kejahatan kontemporer karena perkembangan zaman atau teknologi. Misalnya kejahatan pencucian uang, kejahatan dunia maya dan lain sebagainya,” tambahnya.

Ketiga, imbuhnya, selain yang terkait dengan kemajuan zaman dan teknologi, unsur-unsur lainnya ialah yang terkait dengan perkembangan kejahatan-kejahatan internasional yang sudah diakui sebagai kejahatan, untuk dimasukkan sebagai kejahatan dalam hukum nasional.

“Dalam hal ini misalnya kejahatan penghilangan paksa, kejahatan penyiksaan, dan kejahatan serius lainnya, yang sudah diatur dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional,” tambahnya.

Keempat, memasukkan tindak pidana yang ada dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undang khusus ke dalam KUHP melalui undang-undang. Model-model revisi bisa merujuk pada revisi yang sudah pernah ada atau pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia sendiri, misalnya Perppu No. 16 Tahun 1960, UU No. 1/PNPS/1965, UU No. 4 Tahun 1976, dan UU 27 Tahun 1999, dan lain sebagainya.

“Pembaruan politik hukum pidana lebih penting dan diperlukan untuk menjamin perlindungan kebebasan sipil dan kebebasan warga negara, ketimbang memperdebatkan persoalan semantik dan teknis rumusan pasal-pasal,” jelasnya.

Selain itu, pembaruan KUHP ini harus ditempatkan dalam rangka mengfungsikan hukum pidana dalam tatanan negara demokratis, bukan sebaliknya menjadi instrumen "penekan" bagi rezim yang berkuasa.

“Makanya, penyusunan RKUHP harus sedapat mungkin mendekatkannya pada standar baku hukum pidana modern, yang pada akhirnya membuat kita dapat "berdiri sama tegak" dan "duduk sama rendah" di tengah pergaulan antar bangsa,” demikian Zainal Abidin. @ari

alexa ComScore Quantcast Google Analytics NOscript

Ari Purwanto @lensaindonesia 11 Apr, 2013
enclosure:


-
Source: http://www.lensaindonesia.com/2013/04/11/pemerintah-dpr-tak-boleh-paksakan-rekodifikasi-menyeluruh-kuhp.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com

No comments:

Post a Comment