LENSAINDONESIA.COM: Ribuan warga dari lima desa, masing-masing Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR), Minggu (19/5/2013), menggelar aksi menolak rencana pembangunan PLTU Batang yang berkapasitas 2×1000 MW. Mereka menolak menolak menjual tanah miliknya kepada PT Bhimasena Power Indonesia yang bekerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Ujung-ujungnya, saat ini warga diintimidasi dan ditekan preman sewaan dan oknum-oknum tak bertanggung jawab dari perangkat desa, Polri dan TNI, yang mendesak penduduk setempat menjual tanahnya. Warga melawan dengan membentangkan spanduk selebar 90 meter, pemasangan papan di tanah dan lahan mereka. Diantaranya; `Kami tidak akan menjual tanah-tanah kami`, Tolak PLTU dan selamatkan lingkungan`.
Baca juga: Hatta: Perlu Affirmative Action Kader Perempuan PAN dan Bibit Waluyo Optimis Diusung Demokrat, PAN dan Golkar di Pilgub Jateng
Roidhi, warga Karanggeneng, mengatakan pernyataan Lucy Eko Wahyu, deputi Menko Perekonomian dan Yoyok Sudibyo, Bupati Batang, yang telah mengklaim bahwa pembebasan lahan sudah 90 persen adalah bohong. “Itu opini saja untuk mengelabui publik, kalau toh ada tanah yang sudah terjual itupun hanya sebagian kecil saja setelah sebelumnya diintimidasi,” jelasnya.
Hal senada juga diutarakan tokoh masyarakat lainnya, Wahyu Nandang Herawan, yang menyebut data yang diungkap Hatta Radjasa, Yoyok Sudibyo dan Lucy Eko Wuryanto ini hanyalah klaim belaka. Hal ini diduga merupakan strategi agar seolah-olah tanah-tanah sudah banyak terbebaskan. Harapannya, agar warga yang belum menjual tanah-tanahnya terpancing untuk menjual.
“Janji Lucy Eko Wuryanto kepada warga UKPWR itu untuk meninjau ulang rencana PLTU Batang ternyata omong-kosong, karena pembebasan lahan terus dijalankan. dalam hal ini pemerintah telah melanggar 3 Pilar Pembangunan yaitu Pilar Ekonomi (Economically Viable), Diterima secara Sosial (Socially acceptable) dan Ramah lingkungan (environmentally sound),” beber Wahyu.
Sementara Arif Fiyanto, koordinator Greenpeace Indonesia, mengatakan sikap pemerintah yang bersikeras melanjutkan pembangunan PLTU Batubara Batang, menunjukan bahwa pemerintah tuli dan tak serius mendengar aspirasi rakyatnya dengan lebih mengutamakan kepentingan investor ketimbang keselamatan warga.
Arif menyebut pihaknya sepakat jika Indonesia membutuhkan listrik untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Namun menurutnya, untuk menghasilkan listrik tidak harus mengorbankan mata pencaharian dan kesehatan warga dan teka perlu menggunakan Batubara, bahan bakar fosil terkotor sebagai sumber daya utamanya.
“Kita punya sumber energi terbarukan yang luar biasa berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah. Dengan kata lain Indonesia bisa menghasilkan listrik tanpa memiskinkan dan membahayakan kesehatan warga,” tegasnya.
Sekedar diketahui, Menko Perekenomian, Hatta Radjasa, yang bertindak sebagai Koordinator harian MP3EI ini menyatakan bahwa tanah yang dibutuhkan untuk rencana pembangunan PLTU Batang ini seluas 192 hektar dan yang sudah dibebaskan 187 hektar sehingga yang masih belum dibebaskan hanya 5 hektar.
Hal ini berbeda dengan pernyataan yang disampaikan oleh Deputi Menko Pereknomian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Lucy Eko Wuryanto, yang menyatakan bahwa tanah yang dibutuhkan seluas 226 hektar dan yang sudah dibebaskan adalah 186 hektar, artinya yang belum terbebaskan sekitar 40 hektar. @yuwana irianto
Andiono Hernawan @lensaindonesia 19 May, 2013
enclosure:
-
Source: http://www.lensaindonesia.com/2013/05/19/ribuan-warga-lima-desa-tolak-pembangunan-pltu-batang.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
No comments:
Post a Comment